Posted in just write, me and camera

Old Recesky vs New Recesky

Beberapa waktu yang lalu, saya dipaksa kehilangan mood memotret saya. Salah satu lensa toycam kesayangan saya, recesky, hilang. Entah bagaimana kronologis pastinya, yang jelas saya kehilangan lensa bawah DIY TLR saya ini. Padahal belum lama saya mengganti tampilannya, from zebra skin to wood skin. Sedih iya pastinya, mood memotret hilang. Recesky kesayangan dengan roll yang masih tersisa beberapa frame hanya menjadi pajangan di kamar saya karena jelas tak dapat digunakan untuk memotret. TLR tanpa 1 lensa akan kehilangan esensinya sebagai kamera ( hallah ahaha ).

Recesky with DIY zebra skin

Recesky with DIY wood skin

Selama hampir 2 minggu saya berhenti memotret, kamera yang lain enggan saya sentuh. Hingga akhirnya kemarin saya mendapat pengganti recesky saya yang kehilangan salah satu lensanya. Ada beberapa yang berbeda antara recesky yang lama dan yang baru. Dari tampilan luarnya saja, kardus box recesky yang lama dan yang baru berbeda.

Recesky old box

Recesky new box

Tak sabar segera merakit recesky yang baru, saya langsung membuka kardus box recesky baru ini. Ternyata ada yang berbeda lagi. Susunan box tempat part, berbeda dengan yang lama. Bagi seseorang yang sudah pernah merakit kamera ini, mungkin ini bukan masalah. Tapi bagi seseorang yang baru akan merakit untuk pertama kalinya, ditambah tidak bisa membaca tulisan dengan huruf china, ini akan menyusahkan. Buku petunjuk merakit masih berdasarkan susunan box part yang lama. Di buku petunjuk ini, dijelaskan lengkap dengan gambar, part A berada di box sebelah A. Jadi bagi seseorang yang tidak bisa membaca tulisan dengan huruf china, untuk merakit tinggal mengambil part yang dimaksud di box part yang sudah dijelaskan pada buku petunjuk, lalu merakitnya sesuai petunjuk.

Ini akan menjadi kesulitan bagi seseorang yang baru pertama kali merakit recesky karena keterangan dan bentuk tempat part di buku petunjuk, berbeda dengan bentuk box tempat part yang baru. Tetapi masih bisa diatasi dengan lebih teliti menyamakan bentuk part dengan gambar lalu mencarinya di box part yang baru.

 

atas : box part lama – bawah : box part baru

Ada tambahan di recesky keluaran baru ini, yaitu obeng. Obeng yang disediakan sudah sesuai dengan ukuran baut yang digunakan.

Potongan part recesky keluaran baru ini tidak serapi potongan part recesky keluaran lama. Beberapa bagian harus saya ‘haluskan’ dengan cutter agar potongan – potongan part bisa pas saat disatukan. Terakhir, saat saya menyatukan keempat sisi recesky dan memasang sisi bagian atas, saya sangat kesulitan. Karena memang keempat sisi ini tidak bisa pas saat disatukan. Saya harus sedikit ‘memaksa’ agar bagian atas ini dapat terpasang dengan benar. Dan setelah saya memasang ulir lensa, akhirnya jadilah recesky baru saya 😀

Saya sudah semangat akan memasang roll untuk mengetesnya dan saya mengurungkan niat saat saya mencoba mengintip viewfinder . Saya mencoba memutar ulirnya untuk memfokuskan gambar, tapi ternyata saya tidak mendapat fokus. Saya mencoba memasang lensa recesky lama saya di sebelah atas, dan setelah saya lihat di viewfinder, fokus bisa normal seperti biasa. Saya mencoba satu lensa lainnya dari recesky yang baru dan memasangnya di atas, mencoba memfokuskan melalui viewfinder. Dan ternyata lensa baru lainnya tetap tidak bisa memfokuskan gambar. Yap, kedua lensa dari recesky baru ini tidak dapat memfokuskan gambar dengan benar sehingga yang terlihat di viewfinder blur sekali.

Dengan recesky yang lama, saya mencoba memotret menggunakan lensa dari recesky yang baru. Saya memasang lensa baru di bawah, sedangkan lensa lama saya pasang di atas agar saya dapat memfokuskan objek di viewfinder. Tetapi saya pesimis hasil dari test lensa ini akan jernih seperti biasanya. Logikanya, jika mencoba melihat dari viewfinder saja lensa tidak dapat memfokuskan objek, maka hasil akan blur karena lensa tidak dapat memfokuskan gambar di film. Dan setelah saya menghabiskan 2 frame terakhir dari roll recesky lama, inilah hasil tes lensa dari recesky baru.

 

Hasilnya sangat blur sekali. Walau terlihat fokus di viewfinder ( dengan lensa lama ), gambar tetap tidak dapat fokus di film karena lensa yang meneruskan dari objek ke film tidak dapat memfokuskan gambar.

Disini saya melihat beberapa perbedaan recesky lama ( produksi lama ) dan recesky yang baru saya beli ( produksi baru ). Saya tidak tau apakah semua recesky produksi baru akan mengalami masalah yang sama. Tapi 2 orang teman saya yang lain mengalami masalah yang sama dari recesky barunya. Bahkan pernah ada seseorang yang menanyakan masalah part plastik transparan di viewfinder kepada saya. Dia tidak mendapatkan part tersebut, dan sebagai gantinya dia mendapat 2 cermin reflektor.

Perbedaan recesky lama dan recesky baru :

  • Tampilan kemasan box  luar
  • Box tempat part recesky ( recesky lama masih sesuai dengan buku petunjuk, sedangkan recesky baru berbeda dengan buku petunjuk )
  • Potongan part recesky lama lebih rapi daripada recesky baru
  • Bahan part recesky baru lebih tipis daripada yg lama, sehingga recesky yang baru sedikit lebih ringan daripada recesky lama
  • Proses penyatuan part recesky baru lebih sulit karena potongan part tidak rapi dan tidak presisi
  • Lensa dari recesky baru tidak dapat memfokuskan gambar sehingga hasil gambar akan blur.
  • Ulir tempat lensa sangat ringan diputar. Bagi saya, ini tidak nyaman karena fokus akan mudah bergeser. Saya lebih nyaman dengan ulir lensa yang lebih ‘seret’ karena fokus tidak mudah bergeser. Mungkin ini masih biasa diatasi dengan memasang isolasi/selotip agar ulir bisa lebih ‘seret’
  • Tombol shutter recesky lama lebih ‘halus’ daripada recesky baru. Mungkin ini efek dari susunan part recesky baru yang tidak se-presisi recesky lama

Sekali lagi, saya tidak tau apakah semua recesky produksi baru akan mengalami masalah yang sama. Kualitas recesky produksi baru menurun jika dibandingkan dengan recesky produksi lama. Tapi saya pikir, masalah seperti bahan part, tingkat presisi bentuk part ataupun bentuk box tempat part masih bisa diatasi dan tidak mengganggu performa recesky. Hanya saja lensa yang tidak dapat memfokuskan objek ini yang menjadi masalah. Kamera tanpa lensa yang dapat memfokuskan dari objek ke film atau viewfinder membuat kamera menjadi  ‘cacat. Dan buat saya, ini sangat mengganggu performa bahkan mematikan performa kamera itu sendiri.

Posted in just a story, sketch

Sampai jumpa ayah !

Dia tak berhenti mengunyah. Ini sudah bungkus kedua coklat yang dia lahap. Matanya memandang keluar kaca, memperhatikan apapun yang berkelebat cepat. Sesekali kepalanya menoleh mengikuti apa yang dilihatnya, sesekali dia akan tersenyum atau terkekeh kecil, menunjuk objek yang menarik perhatiannya dengan telunjuk menempel di kaca jendela. Kepolosan anak kecil berusia 6 tahun itu terlihat kontras dengan ibunya. Disebelahnya, ibunya tampak sembab. Matanya merah, bengkak. Air matanya masih menetes dari kedua matanya yang memandang kosong ke depan, bersandar lemah di pundak sang bibi yang memeluknya sepanjang perjalanan ini. Di depan, pak supir tampak serius mengemudikan mobil majikannya. Mereka melaju dengan kecepatan tinggi siang itu, terburu – buru. Tak sabar bertemu jasad sang ayah di pulau sebelah…

*    *    *

“Mana.. mana suamiku ?!”, sang ibu berteriak histeris. Menyeruak diantara deretan panjang pelayat yang masuk ke ruang tamu rumah mertuanya itu. Mertuanya sudah lama mati. Dan rumah itu menjadi milik adik iparnya. Semalam, suaminya, sang ayah, berpulang menemui Tuhan saat mengunjungi adiknya sepulang berobat ke ‘dokter’ kampung yang katanya manjur. Dia sudah tak percaya dokter. Semua dokter yang didatanginya menyatakan dengan nada keheranan yang sama, “Hasil test Bapak normal, saya tidak tau kenapa Bapak bisa menjadi setengah lumpuh begini. Mungkin ini penyakit ‘kiriman’ pak”

Diagnosa dokter beberapa bulan yang lalu, dia menderita beberapa deretan nama penyakit berat. Setelah berobat ke sana ke mari, dari dokter lokal hinggal dokter di negara tetangga, keadaannya membaik. Kadang, sebulan atau 2 bulan sekali kondisinya akan memburuk dan harus dirawat di rumah sakit beberapa hari.  Dan setiap itu pula istrinya tak rela meluangkan waktu kerjanya demi merawat suaminya. Workaholic. Begitu sosok istrinya, sang Ibu, kata orang – orang. Kini dia terisak hebat di depan jasad suaminya. Sebatas kata menyesal mungkin tak cukup mewakili apa yang dirasakannya.

“Maafkan aku yah.. aku ini cuma istri yang durhaka pada suaminya..”, sang ibu mengulang kalimat itu untuk kesekian kalinya diantara isak tangisnya.

Adik iparnya terisak memeluk sang ibu. Berusaha menenangkan. Tapi bisa apa mereka, sang Ayah sudah berpindah alam semalam, tanpa mengucap salam. Para pelayat menyambut adegan ini dengan sahutan tangis. Tak terhitung berapa banyak air mata mengalir lalu terhapus dari pipi orang orang – orang yang datang. Tak laki – laki, tak perempuan, tak tua, tak muda. Terkecuali si anak lelaki kecil itu. Anak satu – satunya dari sang almarhum ayah dan ibu yang workaholic.

Dia mengamati, dari satu wajah sendu ke wajah sendu yang lain. Dari wajah ayahnya yang membiru dan beku ke wajah ibunya yang memerah dan basah. Pipinya kering, tak seperti puluhan orang di sekitarnya. Raut wajahnya perpaduan antara bingung, ragu dan bertanya – tanya. Dihampirinya salah seorang kakek dan bertanya, “kenapa kakek menangis ?”

Sang kakek menjawab, “Ayahmu meninggal nak.. dia sudah mati. Dia orang baik..”

Anak lelaki terheran, “Lalu kenapa kakek sedih dan menangis ? Bukankah ayah orang baik, dan bukankah orang baik masuk surga yang bagus ?”

Sang kakek terdiam memandang anak lelaki. Anak lelaki itu lalu berjalan meninggalkan sang kakek, menghampiri seorang ibu – ibu dan kembali bertanya, “Kenapa tante menangis ?”

Sang ibu – ibu pelayat menjawab, “Ayahmu meninggal nak.. sudah lama dia sakit dan menderita. Akhirnya dia harus seperti ini..”

Anak lelaki kembali terheran, “Lalu kenapa tante menangis ? Bukankah ayah sekarang sudah tidur nyenyak ? Ayah ga bilang sakit lagi. Itu ayah tidurnya ga merintih sakit kayak biasanya.”

Si ibu – ibu pelayat juga terdiam kali ini. Anak lelaki itu lalu menghampiri ibunya. Dilihatnya ibunya nanar, menangis sesak, duduk bersandar di samping jenazah ayahnya.

“Bu, kenapa ibu menangis ?”, anak lelaki bertanya pada ibunya.

“Ayahmu nak.. dia sudah meninggal. Sama siapa ibu nanti ?”

“Ibu kan masih bisa sama dede. Biasanya juga sama dede, bobonya juga sama dede.”

Sang ibu bertanya kembali, “Tapi ayah ga sama kita lagi de, sampe ibu tua, sampe dede gede.. Ayah udah pergi..”

“Ayah perginya ke mana sih bu ?”, anak lelaki penasaran.

“Ke surga nak. Tempatnya jauh lebih bagus daripada di dunia”, sang ibu menjelaskan perlahan.

“Lalu kenapa ibu sedih ? Kan ayah pergi ke tempat yang lebih bagus. Pasti ayah senang kan ?”, anak lelaki kembali bertanya.

Sang ibu terdiam, sejenak, lalu berkata, “Tapi ayah tidur terus de, ga bangun – bangun lagi. Ga bisa main sama dede”

“Tiap ayah bangun, bilangnya sakit. Trus kalo ayah bobo, ibu bilang jangan ganggu ayah. Trus kenapa sekarang ibu pengen ayah bangun ? Kalo ayah mengigau bilang sakit pas bobo, ibu bingung. Sekarang ayah bobonya ga bilang sakit. Berarti ayah ga sakit lagi kan sekarang ? Kenapa ibu juga bingung ?”, sang anak lelaki kembali memburu ibunya dengan pertanyaan – pertanyaan yang lain.

Sang ibu diam, berpikir seraya bingung memilih pertanyaan. “Dede ga sedih ditinggal ayah ke surga ?”, sang ibu bertanya keheranan, kenapa anak lelakinya berpikir seperti itu.

“Kemaren ayah cerita surga sama dede. Katanya tempatnya baguuuus sekali. Ayah kemarin tanya sama dede, ayah boleh ga pergi ke surga. Tapi dede ga boleh ikut dulu. Dede pengen ikut ayah. Tapi kata ayah, kalo dede mau ikut, dede harus lulus ujian bisa jagain ibu sampe gede. Kata ayah, dede harus jadi orang baik dulu, baru bisa ikut ayah ke surga”

Sang ibu terkesiap, lalu kembali bertanya, “Dede ga bisa main sama ayah lagi loh. Ayah bobo terus sekarang, ga bangun – bangun”

Anak lelaki kembali menjawab, “Kemarin ayah juga bilang gitu, Bu. Dede ga mau. Tapi kata ayah, ayah cape. Ayah ga kuat sama sakitnya. Kalo dede mau ayah sembuh, dede ga boleh sedih kalo ayah bobo terus ga bisa main sama dede. Ayah bobo terus tapi sakitnya sembuh, trus bisa ketemu Tuhan di surga. Gitu kata ayah. Makanya dede ga sedih. Nanti kalo dede udah gede, dede bakal ketemu ayah di surga lagi. Dede udah janji sama ayah ga mau sedih..”

Sang ibu kehabisan kata. Dia bingung hendak bertanya apa lagi. Nyatanya pikiran sederhana anak lelakinya bisa menerima kepergian ayahnya dengan cara yang sederhana. Dia memeluk anak lelakinya, menangis hebat untuk kesekian kalinya.

“Ibu jangan nangis. Kata ayah, menangis itu cuma bikin ayah sakit lagi nanti di surga. Makanya dede udah janji ga mau nangis kalo ayah bobonya lama trus pergi ke surga duluan. Kan ada dede yang nemenin Ibu. Kata ayah, ayah sedih kalo ibu ga nemenin ayah. Sekarang dede ga mau ibu sedih karena dede ga nemenin ibu..”

*    *    *

Sepanjang proses pemakanan, anak lelaki itu memperhatikan dengan seksama. Dan saat tanah diurug ke liang lahat ayahnya, dia melambai dan berkata, “Dede ga nangis, Yah ! Dede ga sedih, dede janji mau nemenin ibu sampe gede, mau jadi orang baik kaya ayah. Biar nanti dede bisa ikut ayah ke surga.. dadah Ayaah.. “

*    *    *

Posted in kata berima, sketch

Metamorfosa kata cinta buat aku dan kamu itu…

seperti secangkir teh panas, selepas dingin dan lelah menyapamu sehari penuh

seperti hujan pertama setelah musim kemarau yg menghapus gerah dan amarah

seperti satu kandela cahaya dalam gelap pekat ruang hampa tanpa sekat, di sebuah tempat tak berpredikat

seperti alunan deretan nada yg menghiburmu dari penat yg mengikat

seperti bantal bulu angsa lembut yg membelaimu dan menawarkan mimpi dalam lelap

metamorfosa kata cinta buat aku dan kamu itu…

seperti saat kata cinta itu sendiri tak cukup mampu mendefinisikan bahasa hati kita

Posted in sketch

Back To Sketch Again

Sebuah masalah bagi saya jika terlalu asik menjalani 1 hobi saya, saya akan sedikit mengesampingkan hobi yg lain bahkan kadang kehilangan sedikit sensenya. Hehehe. Beberapa bulan terakhir saya terlalu asik memotret dan memotret,. Beberapa roll saya lahap di Surabaya dan Jakarta. Kegiatan menulis dan menggambar pun sedikit teracuhkan. Tetapi seminggu yg lalu, salah satu toycam saya kehilangan lensanya. Dan jadilah mood memotret saya hilang seketika. Pusing tak bisa memotret dengan kamera kesayangan lagi, sambil menunggu pengganti yg baru, saya kembali melirik hobi saya yg lain.

Buku sketsa yg lama tak tersentuh saya buka kembali. Beberapa sketsa yg sudah dibuat berapa bulan yg lalu saya scan. Dan saya membuat beberapa sketsa baru lagi. Dan yah.. ini cukup mengobati mood saya yg tak ingin memotret sementara waktu karena kehilangan lensa. Saya terlarut dengan hobi saya yg satu ini lagi. Untungnya sense menggambar sketsa saya kembali lagi. 😀

June’s sketches

2 sketsa ini saya buat bulan Juni. Sketsa berjudul Market ini sebenarnya unfinished sketch. Saat saya ingin melanjutkan kembali, saya kehilangan mood. Jadilah sketsa ini tak terselesaikan dan sekian saja ahahaha 😀

Satu sketsa lagi dari bulan Juni, saya mencoba mempelajari lagi anatomi tangan. Selain menggambar hewan, saya mengalami kesulitan untuk menggambar anatomi tangan. Cukup sulit bagi saya untuk memahami anatomi tangan, terlebih tangan yg sedang bergerak. 😀

September’s sketch

Lama tak menggambar, September saya mencoba membuat satu sketsa. Permintaan sebenarnya. Tapi karena terburu – buru, saya tak merasa maksimal dengan hasilnya.

November’s sketch

Bulan ini, setelah saya kehilangan lensa saya, saya mencoba menggambar lagi. Bukan permintaan kali ini, tapi saya ingin memberi sesuatu pada objek yg saya gambar ini hehhe. Yah memang berbeda hasil gambar yg terburu – buru dan tidak. Hehe

Posted in just write, me and camera

Holiday to Papuma Beach

Lebaran tahun ini saya menyempatkan diri untuk berlibur sejenak sebelum kembali ke rutinitas kantor di Surabaya. Berhubung saya merayakan Idul Fitri di Jember, saya tertarik untuk mengunjungi sebuah pantai bernama Tanjung Papuma. Pantai yang terhitung belum lama dikenal ini berada di sebelah Pantai Watu Ulo, di daerah selatan Kabupaten Jember. Bersama adik dan sepupu, saya berangkat menuju pantai ini pagi hari. Berbekal Canon Eos 1100D, Holga 135 dan Recesky, saya berniat merekam detik di pantai ini sebagai bahan belajar memotret landscape.

Menuju ke pantai ini, saya melewati jalan dengan deretan pohon jati yang meranggas. Mata saya dimanjakan dengan view yg cantik ini. Merasa seakan ditempat asing dan jauh dari keramaian, saya berhenti sejenak untuk mengambil beberapa foto di sini. Saya menghabiskan waktu beberapa lama untuk menunggu saat dimana tidak ada motor atau mobil yg melintas di satu-satunya jalan menuju Papuma ini untuk mendapat beberapa foto yg saya inginkan.

Melewati jalan ini, kami berhenti di pertigaan tempat pembelian tiket masuk. Dari pertigaan ini, jika kita berbelok ke kiri, kita akan menuju pantai Watu Ulo. Dan jika kita berbelok ke kanan, kita akan menuju pantai Tanjung Papuma. Saya berbelok ke kanan dan langsung dihadapkan pada jalan menanjak dengan kemiringan hampir 40 derajat, curam sekali. Beberapa sepeda motor bahkan menurunkan penumpangnya untuk sampai ke atas daripada mengambil resiko terjatuh. Beberapa penjaga siap membantu di pinggir tanjakan jika tiba-tiba ada pengendara yang kesulitan untuk melalui tanjakan ini. Melewati tanjakan ini, saya berhenti sejenak. Terpana dengan pemandangan Tanjung Papuma dari atas, saya mengambil beberapa foto dari spot ini.

Melanjutkan perjalanan, saya menuju ke Tanjung Papuma yg tidak jauh lagi. Setelah parkir, saya mulai berjalan menyusuri pantai. Tanjung Papuma sedang ramai, libur lebaran dimanfaatkan banyak orang untuk berwisata keluarga. Cukup sulit untuk memotret landscape tanpa hadirnya sosok manusia. Tapi tak mungkin juga saya mengusir orang-orang demi satu atau dua jepretan saya. hahaha

Matahari sedang sangat terik dan kesalahan bagi saya karena salah membawa roll film ber-asa 200. Beberapa roll film ber-asa 100 tertinggal di Surabaya. Jadilah saya tak banyak memotret menggunakan toycam didaerah terbuka yg sangat terik untuk menghindari over. Saya lebih memilih menggunakan kamera digital di area yg terik. Di area yang sedikit teduh, baru saya bermain dengan toycam saya.

Saya mengalami sedikit masalah dengan toycam Recesky saya disini. Setelah reload film, saya merasa film tak terpasang dengan tepat. Khawatir tidak tergulung dengan tepat dan framing tiap jepretan akan rusak, saya menggulung lagi film yg sudah berjalan 2 frame lalu memasangnya lagi. Berhubung Recesky tak memiliki fitur shutter count, satu frame menjadi korban multiple exposure. Setelah memasang ulang, saya merasa masih belum yakin film akan tergulung normal. Tetapi saya memutuskan meneruskan saja dan menerima resiko framing yg menumpuk jika memang terjadi, akan membuang waktu jika saya terlalu berkutat dengan roll film. Untungnya setelah proses cuci scan, hanya 1 frame yg menjadi korban multiple exposure. Frame lain aman dan tak mengalami masalah. 😀

Di sudut Tanjung Papuma ini juga terdapat klenteng. Saya lupa nama klenteng ini, tapi klenteng ini terbuka bagi pengunjung yang ingin sembahyang. Setelah meminta ijin untuk masuk, saya mengambil beberapa foto di bagian luar klenteng.

Yg menarik di sini, beberapa perahu milik nelayan terlihat mengapung di tepi pantai saat tidak digunakan. Beberapa perahu juga diletakkan di tepi pantai, dan saat pasang malam hari tiba, nelayan akan mendorong perahunya ke tengah laut dan mulai melaut. Pantai Papuma sendiri merupakan jenis pantai yg tidak landai, sehingga pengunjung tidak diperbolehkan bermain terlalu jauh dari bibir pantai.

Menjelang tengah hari, panas semakin terik. Saya memutuskan untuk pulang. Dilain kesempatan, saya berpikir untuk mencari sunrise atau sunset di sini. Semoga liburan tahun depan saya ada kesempatan untuk kembali berburu view di sini 😀