Posted in just write, me and camera

Mengamati Surabaya ( Part 4 – Behind The Lens )

Beberapa kali saya diminta untuk menunjukkan dengan gambar seperti apa wajah Surabaya, kota yang sudah saya tinggali sekitar 4 bulan ini. Dan kali ini, saya meluangkan waktu saya sehari penuh, bersama seorang teman saya berkeliling ke beberapa tempat di Surabaya pada hari Minggu pagi. Memotret wajah Surabaya dengan kamera toycam saya yang sudah terpasang film hitam putih. Melewati Jl. Raya Darmo, Jl. Basuki Rahmat, menuju daerah Tugu Pahlawan, dan kembali ke arah seballiknya.  Dan inilah wajah Surabaya yang terekam detik dibalik lensa…

Posted in just write

From The Book Chicken With Plum

 

 

Beberapa hari yang lalu saya baru saja selesai membaca sebuah novel grafis terjemahan berjudul Chicken With Plum. Komik 83 halaman karangan Marjane Satrapi ini membawa kisah sangat sederhana, tentang kisah 8 hari sebelum kematian seorang musisi yang mengharap mati. Baru sekali ini saya membaca cerita tentang seseorang yang mendambakan kematian. Tetapi bukan karena dia mengagungkan kematian itu sendiri, tapi karena dia sudah tak merasakan hidup. Pemikirannya tentang hidup rusak karena alat musik kesayangannya rusak dan menghambat nikmat hidupnya sebagai musisi. Dia tak menemukan alat musik lain dimanapun yang sama seperti sebelumnya. Semua alat musik yang kemudian ditemuinya hanya menghasilkan nada tanpa rasa baginya.

Pada akhirnya memang dia mati sesuai harapannya. Tetapi tanpa disadari, ternyata hasratnya pada hidup hilang bukan karena kerusakan alat musiknya dan dia tak bisa menemukan penggantinya atau keluarganya yang tak memahami keinginan matinya. Tetapi karena dia bertemu setengah jiwanya yang dicintainya sejak dulu dan menjadi jiwa permainan musiknya selama ini, rasa dari tiap nada yang dimainkannya, tetapi wanita itu enggan mengenalnya lagi

Beberapa scene dalam novel grafis ini membuat saya berpikir tentang hidup lagi. Seperti sebuah kisah tentang gajah dari Penyair dan tokoh Sufi Iran bernama Rumi ( 1207 – 1273 ) yang dikutip dalam satu adegan saat seseorang menjelaskan tentang kesombongan pada tokoh utama novel Grafis ini. Sebuah kisah dimana ada 5 orang yang belum pernah melihat seekor gajah. Mereka memutuskan untuk menyentuhnya supaya tahu pasti bentuknya. Setelah satu jam meraba – raba gajah ini, kelima orang ini memberikan pernyataan yang berbeda – beda tentang gajah. Lalu saat lilin dinyalakan, kelima orang tersebut melihat bentuk gajah secara keseluruhan. Dan akhirnya mereka mengerti bagaimana bentuk seekor gajah.

Kisah ini memberi pelajaran tentang bagaimana manusia melihat hidup. Dalam kisah tadi, kelima orang yang tersebut memberikan penafsiran yang berbeda sesuai dengan bagian tubuh gajah yang disentuhnya. Begitu pula dengan bagaimana setiap manusia memberi arti tentang hidup sesuai apa yang dirasakan dan dari sudut pandang masing – masing. Hidup menurut saya akan berbeda dengan hidup menurut kalian.

Dijelaskan lagi bahwa cahaya lilin diibaratkan sebagai kebijaksanaan yang memberi pemahaman tentang eksistensi. Dan kunci menuju kebijaksanaan adalah keraguan. Jika seorang manusia merasa ragu sedikit saja, maka ia tidak akan terlalu angkuh. Saya tersenyum membaca pernyataan ini, karena ternyata memang begitu rumus kehidupan.

Kebijaksanaan adalah apa yang kita butuhkan untuk melihat eksistensi dari esensi hidup itu sendiri. Dan tak ada orang angkuh yang bisa bijaksana melihat hidupnya. Angkuh dan sombong hanya mengurung seseorang pada satu sudut pandang yang tidak bisa berkembang. Ia hanya akan melihat satu sisi diantara ribuan sisi kehidupan, dia tak dapat melihat eksistensi kehidupan. Seperti kelima orang yang meraba gajah tanpa cahaya lilin dan mempertahankan argumennya masing – masing. Tapi orang angkuh tak pernah mendapat cahaya lilin, lalu dia hanya akan tau satu bagian tubuh gajah itu saja. Keraguan membuat kita banyak berpikir dan membuat kita mencari cahaya lilin, membawa kita pada kebijaksanaan yang membuat kita melihat eksistensi hidup.