Posted in just write

Saya akan menyebutnya : Filosofi Donat

Kenapa donat? Kenapa bukan yang lain? Apa hubungannya donat dengan hidup?

Sebenarnya tak ada hubungan khusus kecuali karena mimpi saya semalam yang cukup mengejutkan ketika saya tersadar di pagi harinya.

Beberapa bulan terakhir saya terlibat dalam proses desain hingga pelaksanaan desain interior sebuah kantor. Proyek modal nekat pertama! Sebelumnya saya hanya sebatas terlibat di desain. Tapi kali ini Tuhan memberi saya sebuah kesempatan, bisakah saya terlibat hingga proses pelaksanaan? Dengan saya sendiri sebagai otak dari setiap proses di lapangannya. Berbekal pengetahuan di tempat bekerja dulu ( ya walaupun saya juga bukan sebagai pelaksana, hanya memperhatikan proses kerja para rekan saya yang pelaksana ) dan kehausan saya akan ilmu sebagai pelaksana, dan keterpaksaan saat itu, saya menerima tantangan itu.

2-3 bulan pertama, berawal dari proses penawaran harga, desain dan kontruksi, semua baik-baik saja dan berjalan sesuai rencana. Tapi memasuki bulan keempat, bulan kemarin tepatnya, semua mulai rumit. Mulai dari klien yang banyak menuntut hingga tukang kayu saya yang tak tepat waktu. Jadwal saya molor, klien beralasan macam-maam hingga pembayaran terlambat, hingga kontraktor yang ingin segera dibayar walau pekerjaan mereka belum 100% selesai. Kesabaran saya diuji untuk berhadapan dengan kemarahan orang-orang. Dengan kondisi saya yang sedang hamil, sulit untuk menjauhkan kata stress. Tapi saya sadar saya tak mau bayi dalam perut saya terganggu karena ibunya tertekan.

Pelajaran seperti itu tak saya dapat di bangku sekolah atau kuliah. Bagaimana berhadapan dengan banyak ego. Sulit memang, tapi akhirnya saya bisa belajar. Dan saya kembali belajar untuk mensyukuri setiap ujian Tuhan pada saya. Sungguh ini butuh jiwa besar dan kesediaan untuk memaafkan.

Bulan ini akhirnya klien melunasi termin ketiga. Yang setelah saya hitung, karena banyaknya pengeluaran tak terduga agar proses bulan kemarin berjalan lebih cepat, ternyata saya hampir tak mendapat untung finansial. Ya, hanya sedikit keuntungan yang saya dapat.

Saya berpikir sebelum saya merasa rugi. Bukankah ilmu adalah juga rejeki? Semua pelajaran bagaimana menjadi pelaksana dan strategi menghadapi banyak orang, bukankah itu juga adalah ilmu? Bukankah semua yang saya lalui, proses beberapa bulan terakhir adalah bekal saya untuk proyek berikutnya?

Dan secara mengejutkan, semalam saya bermimpi almarhum ibu saya. Ceritanya, ibu saya hendak pergi ke pasar. Dan saya berkata padanya, “Bu, aku nitip donat ya..”. Beliau mengiyakan permintaan saya lalu pergi ke pasar. Tak lama, ibu saya pulang dan saya menyambutnya, “Mana Bu donatnya?”. Ibu saya kemudian hanya memberi saya bahan-bahan untuk membuat donat. Lalu beliau berkata, “Kalau kamu mau donat, buatlah. Ini semua bahan yang kamu perlukan. Belajarlah membuat donat, maka kamu akan tau setiap prosesnya hingga kamu bisa membuat donat yang enak.”
Lalu saya terbangun..

Ya, mimpi ini menyadarkan saya. Bukan untuk belajar membuat donat. Tapi untuk belajar dari setiap proses itu agar bisa membuat yang terbaik. Sekalipun proses itu menyakitkan. Maka saya tersenyum, membuang jauh-jauh perasaan ‘saya tak mau jadi pelaksana’ lalu bersyukur kembali pada Tuhan atas semua proses yang banyak mengajarkan saya.

Maka apapun yang kalian lakukan, nikmati prosesnya, nikmati setiap ujiannya, sesungguhnya Tuhan menitipkan ilmu disetiap ujian itu. Dan tanpa kalian sadari, kalian akan menjadi orang yang lebih siap untuk ujianNya yang berikutnya..

Posted in just write

Selamat Sore Kenangan..

Jakarta sore ini membawa aku mengurut cerita-cerita yang serasa di sore yang sama. Sore-sore yang sudah berlalu, bersama orang yang berbeda-beda dan rasa bahagia yang berbeda.

Aku ingat sore seperti ini ketika aku duduk di depan rumah bersama ibuku. Hanya berdua, melihat orang berlalu lalang di jalan selebar 3 meter di depan rumah kami. Jalanan yang masih basah setelah ibuku menyiram tanaman di depan rumah. Beberapa kali ibuku akan tersenyum tiap tetangga yang lewat menyapa. Sore yang sederhana. Yang semoga bisa terulang kembali di surga bersamanya.

Aku juga ingat sore saat aku selesai les. Sore seperti ini. Aku masih seusia anak-anak SMA itu. Berkeliling kota bersama sahabat terbaik, mampir membeli jajanan murah di tepi jalan lalu pergi ke sawah dekat pinggiran kota. Tak ada, hanya ingin menikmati sederhananya sore itu bersama-sama. Menunggu senja yang siapa tau akan datang dengan cantiknya.

Aku juga ingat sore ketika aku hanya duduk menikmatinya di depan rumah nenekku. Sambil menikmati baunya, anginnya, yang sama seperti sore ini. Tapi sore itu aku masih mendengar celoteh suara ibuku mengobrol dengan nenekku. Sesekali terdengar tawa bapakku. Dan suara televisi yang tak mau kalah dengan mereka. Sebuah sore saat aku merasa aku berada di tempat yang bernama rumah. Bersama orang-orang yang aku tak ingin kehilangan. Tapi sore ini aku hanya bisa mengingat mereka. Ibuku dan nenekku. Mereka sudah berada di alam penantian sebelum dunia akan berakhir.

Aku ingat pula sore saat aku masih bersama seseorang yang dulu pernah menjadi harapanku. Sore di sebuah desa di tepi Jogja. Dengan pohon bambu bergelayut di depan rumah dan 2 ekor kucing yang menemani saat kami meminum teh bertiga. Bersama ibunya atau keponakannya. Kadang ditemani tahu bacem. Bau sore yang semakin sederhana di sebuah desa yang sederhana. TentunyA bahagia itu sudah berlalu, terganti oleh bahagia yang jauh lebih indah bersama seseorang yang jauh lebih mengantarkan aku menuju bahagia.

Aku lalu ingat sore yang sama saat bapakku memacu kencang mobilnya menuju pelabuhan Madura. Kami berempat. Aku, bapakku dan kedua adikku. Sore menuju senja itu, bapakku ingin aku punya waktu memotret senja di pelabuhan. Kami berjalan berpacu waktu. Sebelum langit gelap dan matahari hilang membawa indahnya warna di ufuk barat. Saat itu kami sudah di penghujung libur lebaran. 3 tahun lalu sepertinya. Sore yang sederhana, mengejar senja, bersama keluarga tercinta. Walau pada akhirnya aku tak mendapat langit kemerahan itu karena mendung bergelayut malas di barat. Bapakku meminta maaf yang tentunya pasti bukan kesalahannya. Yah, dia hanya ingin menghibur anaknya.

Masih banyak sore-sore yang lain. Sore yang serasa sama seperti sekarang. Yang sepertinya baru berlalu seminggu yang lalu. Aku rindu sore-sore sederhana seperti itu. Jadi kubiarkan aku mengingatnya sore ini, tersenyum sendiri dan kembali merasakan rasa yang sama. Ditemani langit sore yang sama lewat jendela sederhana kamarku.

Selamat sore semua..
Selamat menikmati kenangan..

20140111-174737.jpg