Posted in just a story, just write

Hidangan Tua di Sumber Hidangan

2010 yang lalu adalah pertama kali saya mengunjungi tempat ini. Aroma tua tercium dari bangunan tua yang entah sudah sejak tahun berapa berdiri di sana. Menjadi saksi di sebuah jalan bergaya Belanda di kota Bandung, Braga.

Bangku-bangku besi tua berwarna putih teratur rapi dibalik jendela berbingkai kayu. Jendela kaca yang sudah buram dan tergores debu berpuluh tahun. Dinding putihnya sudah keabu-abuan karena tumpukan debu. Di sisi teratas ruangan, balkon panjang mengelilingi seluruh sisi ruangan. Tapi tak ada tangga akses ke sana. Saya juga bertanya-tanya untuk apa balkon tanpa tangga sepanjang itu terpasang?

Sebuah meja kasir panjang dari kayu menguasai di tengah sisi ruang. Ditemani sebuah radio tua, seorang bapak tua berambut putih bermuka masam duduk di sana. Sedang berperan menjadi bos sekaligus kasir sepertinya.

Beberapa pengunjung duduk menikmati es krim di meja-meja tua. Mungkin membicarakan rasa es krim resep peninggalan Belanda yang mereka makan atau si bapak bos kasir yang tak pernah tersenyum. Saya memesan segelas es krim dengan taburan kacang tanah dan semacam karamel. Manis sekali. Dan seketika saya jatuh cinta pada tempat ini. Dengan semua manis disetiap es krim dan debu di sudut ruangnya.

Beberapa bulan yang lalu saya kembali mengunjungi tempat ini. Tapi saya memulai dari ruang disebelahnya. Sebuah ruang dengan rak-rak kaca tua, berisi loyang-loyang dan toples tua berlabel nama kue berbahasa Belanda. Saya tak bisa membacanya, saya hanya menunjuk roti dan cake coklat yang membuat lidah saya mendadak terasa manis. Timbangan-timbangan tua yang mungkin sudah terpakai sejak jaman penjajahan masih dipakai, menghiasi toko es krim sekaligus kue bernama Sumber Hidangan ini. Seorang bapak tua yang terlihat ramah menjadi bos sekaligus kasir untuk area toko kue. Rambut putihnya tersisir rapi, dengan kemeja putih dan kacamata berbingkai besar dia masih bersemangat melayani kami dibalik kotak berjaring besi.

Setelah membayar, aku memilih tempat duduk dan memesan es krim. Kuhabiskan sore itu menikmati segelas es krim dan sepotong roti yang mungkin dibuat dengan resep yang sudah tua. Sepotong roti isi coklat dengan coklat beku diatasnya.

Harga hidangan di sini tak mahal untuk sejenis es krim Belanda. Restoran es krim tua serupa di Surabaya atau Jakarta, harga paling murah berkisar 30.000 rupiah. Disini segelas es krim hanya dijual sekitar 10.000 rupiah. Roti-roti manis ini pun juga dijual murah, sekitar 5000 rupiah saja kita sudah bisa mencicip resep peninggalan Belanda. Bagaimana aku tak semakin mencintai tempat ini? Mungkin tempat ini akan menjadi tempat wajib tiap kali aku mengunjungi Bandung. Mencoba rasa es krim dan roti yg berbeda tiap datang kemari. Berpindah dari meja satu ke meja yg lain. Merasakan aroma Belanda, bukan aroma peperangan dan darah para pejuang yg tumpah saat melawan mereka. Tapi aroma kue-kue, roti dan manisnya es krim tua ditengah jaman yg serba modern ini.

image

image

image

image

image