Posted in just write

Orang Tua Baru dan Ilmu Parenting

Beberapa th terakhir ini banyak buku parenting terbit. Artikel-artikel, blog, semacam himpunan dan group atau hanya sekedar tips-tips parenting yg di share di facebook. Aku sebagai orang tua muda, yg baru punya 1 anak dan jauh dari orang tua jg pernah merasa gundah. “Aku perlu baca ga ya? Aku siap ga ya jadi orang tua?”. Apalagi Ala udah mulai di fase umur anak2 yg suka bertanya. Mulai memilih, mulai nawar, mulai harus diberi aturan2. Sedangkan yg aku baca, anak-anak jgn terlalu diberi banyak aturan biar mereka bisa bebas bereksplorasi. Aku dan sekian banyak orang tua muda beranak 1 pasti merasakan hal yg sama. Karena ya, jadi orang tua itu ga gampang. Dan kita ga mau salah arah sejak dini bukan?
Tapi seiring berjalannya waktu, seiring banyaknya tips2 ringan sampai artikel lumayan detail yg sudah kubaca tentang parenting ( aku belum sampai beli buku parenting sih ), aku dan suami memutuskan biarlah mengalir saja. Kenapa? Karena terlalu banyak dan pusing ahaha. Nanti kami pasti menemukan ‘style’ kami sendiri. Belajar ga mesti dari buku kan? Ya, kita masih baca-baca seperti yg lain. Tapi kami jg belajar dengan melihat orang tua lain di sekitar kami. Adik, kakak, sepupu bahkan tetangga. Practical! Kami melihat apa yg dilakukan orang tua lain kepada anaknya dan melihat apa yg terjadi pada anaknya kemudian ketika hal itu dilakukan terus-menerus. Lalu kami ambil kesimpulan, bisa diterapkan ga? Bisa kasih hal positif ke anak dan orang tua ga? Caranya udah bener ga? Karena menurut kami parenting itu 2 arah. Ga harus tentang agar anak bisa jadi anak baik, penurut, kuat dll. Tp gimana kami sbg orang tua jg harus bisa sabar, mengendalikan diri, mengajarkan hal baik bahkan menggunakan bahasa yg baik saat marah atau hanya untuk mengingatkan anak.
Too much theories will change yourself. Itu yg kami pikirkan. Terlalu banyak aturan parenting justru akan bikin kita lupa gimana jadi diri kita sendiri yg sesungguhnya. Its ok baca itu semua. Ilmu pasti ada baiknya. Tapi jangan membuat kita jadi terlalu kaku. Ambil yang sesuai dengan kita, yg cocok dengan lingkungan kita, yg cocok dengan kepribadian kita dan anak kita. Jangan terlalu memaksa harus sama persis seperti teori-teori itu, karena yg kemudian terjadi kita akan bingung. Salah-salah bisa jadi mallprakter mendidik anak karena terlalu pusing mau pakai strategi dan teori yg mana, bukan?

Karena anak berbeda-beda. Sekali lagi, anak itu berbeda-beda. Ga semua teori itu bisa diterapkan ke semua anak. Setiap anak punya kepribadian berbeda, cara menangkap hal yg berbeda, cara memahami hal yg berbeda. Jadi gimana bisa tau teori mana yg pas buat anak? Ga ada cara lain selain dengan mencoba..
Aku ambil contoh, banyak parenting tips yg menyarankan tidak memakai kata ‘jangan’ pada anak. Karena bisa membatasi imajinasi anak atau membatasi eksplorasi anak. Prakteknya, aku tetap pake kata jangan. Tapi kemudian tetap memberi Ala apa alasannya. Sebisa mungkin aku menghindari kata ‘pokoknya’. Kata itu seolah ga memberi Ala pilihan dan alasan. Itu yg membatasi eksplorasi. Padahal ada hal2 yg bisa ditoleransi dan ada hal2 yg ga bisa ditoleransi. Misalnya aku tetap mengajarkan Ala untuk punya pilihan seperti mau pake baju yg warna apa? Mau pake sepatu yg mana? Mau makan pake apa? Tapi untuk hal-hal seperti menggigit atau lompat-lompat saat makan, itu ga bisa ditoleransi. Aku akan bilang jangan menggigit! Jangan lompat-lompat waktu makan! Tapi diikuti dengan “lompat-lompat waktu makan itu berbahaya, kalo keselek bisa muntah. Ala duduk ya biar ga muntah”
1 kali, 2 kali, 3 kali kami masih harus ‘jangan-jangan’. Tapi kemudian Ala paham dan ga pernah lompat-lompat saat makan. Begitu seterusnya untuk hal lain seperti mengembalikan sandal ke tempatnya setelah memakai, minum dengan hati-hati tanpa menumpahkan atau menggigit pundak saat digendong. Sekarang Ala sudah terbiasa melakukan semuanya tanpa bunda bilang, “sandalnya jangan ditinggal diluar ya. biar ga hilang” ( sandal jepit anak harganya lebih mahal daripada sandal emaknya, sayang kalo ilang ahahaha )

Semua karena terbiasa. Cape emang mengingatkan hal yg sama terus-menerus. Beberapa akan memilih bodo amat ah, ntar kalo keselek berhenti. Tapi parenting yg baik harus berhasil di kedua arah kan? Anak berhenti lompat2, orang tua berhenti marah2.

Contoh lain, anak tetangga yg beda 6 bulan dengan Ala. Dia akan berteriak mengamuk saat permintaannya tidak dituruti. Ketika diberi alasan dan pengertian, dia akan semakin mengamuk. Aku dan suami memperhatikan kenapa bisa seperti itu? Ternyata orang tua dan orang-orang terdekatnya membiasakan untuk menuruti kemauannya. Alasannya? Biar ga nangis, biar ga ngamuk. Tapi ini seolah jadi bumerang. Semakin dituruti karena males ribet, males  denger si anak teriak-teriak, semakin pendek tingkat kesabaran anak ketika permintaannya tidak dituruti atau sekedar mendapat jawaban “nanti dulu ya sebentar, lagi diambilin”.

Dari ‘ilmu lapangan’ ini, aku belajar gimana menghadapi anak saat meminta sesuatu. Ketika aku bisa memenuhi keinginannya, aku bilang “iya tapi sebentar ya.. Ala sabar dulu. Bunda ambil sebentar”. Aku ingin melihat dan membiasakan bahwa menunggu itu harus sabar. 1kali, 2 kali, Ala akan menangis ketika aku tidak segera mengambil apa yg diminta. Tapi lama-kelamaan dia akan mengerti. Ketika aku bilang, “sebentar ya, sabar bunda ambil dulu”. Ala akan menjawab, “oke. bunda ambil dulu baru abis itu Ala main”. Tanpa anak nangis, tanpa bunda marah-marah. Mudah kan? Hanya butuh kesabaran dan ribet didepan.

Ada lagi ilmu parenting sederhana dari dosen pembimbing tugas akhir dulu. Iya, disela bimbingan tugas akhir dulu, dosenku sering cerita tentang anak-anaknya. Beliau berpesan nanti kalo udah jadi orang tua, biasakan memakai kalimat positif. Karena kata-kata orang tua adalah doa mujarab! Pernah suatu ketika, anaknya berpamitan akan pergi. Beliau berpesan, “helmnya dipake, kalo jatuh nanti kepala yg kena kan bahaya.”. Benar saja, dalam perjalanan pulang anaknya mengalami kecelakaan, dan cidera di bagian kepala. Semenjak itu beliau mengubah semua pesan yg biasa menggunakan kalimat negatif menjadi kalimat positif. Pesan beliau ini menempel erat di kepalaku sampai sekarang. Dan aku berpesan pada suamiku untuk menerapkan di rumah.

Jadi kami mulai mengganti semua kalimat-kalimat seperti :

“jangan lompat-lompat nanti jatuh” menjadi “jangan lompat-lompat biar ga jatuh”

“ayo makan nanti sakit loh” menjadi “ayo makan biar kuat, biar ga sakit”

“jangan tidur malem-malem, besok kesiangan loh” menjadi “jangan tidur malem-malem, biar besok bangun pagi”

Awalnya memang susah. Karena kalimat peringatan seperti ini memang biasanya diakhiri dengan ancaman ahahaha Tapi kemudian kami bisa terbiasa dan baiknya, kami jadi selalu bisa mendoakan yg baik buat Ala. Nilai plus lagi, Ala jadi terbiasa menggunakan kalimat positif seperti ini. Saat dia bermain masak-masakan, dia kemudian akan menyuapi bundanya sambil bilang, “bunda ayo makan biar ga lemes”. Seneng!

Jadi, silahkan membaca buku parenting, tips parenting, ikut arisan parenting, eh salah, group parenting. Ambil semua ilmunya, coba terapkan sesuai kepribadian anak dan orang tua. Kalo ga cocok, coba di-improve. Kalo masih ga cocok, cari cara lain. Jangan terlalu memaksa harus sama persis lalu membuat kita kehilangan kepribadian karena terlalu berusaha menjadi orang lain. Setiap anak dan orang tua berbeda. Dan jangan lupa, lingkungan juga tempat kita belajar. Ambil yang baik dan bisa ditiru, buang yg ga baik dan jangan ditiru. Selamat mencari ‘style’ parenting kalian masing-masing! 🙂

 

PS : penulis bukan ahli parenting. hanya selalu mencoba dan mencoba jadi orang tua yang baik buat Ala 🙂