Posted in just write

Mengamati Surabaya ( part 3 – Sunday Morning )

Tiap kota punya kebiasaannya sendiri – sendiri untuk menikmati minggu paginya, termasuk Surabaya. Di Yogyakarta masyarakat dan hampir kebanyakan mahasiswa menikmati minggu paginya dengan pasar dadakan di kawasan kampus UGM, Sunday Morning. 4,5 tahun saya  hidup d Yogyakarta, hanya beberapa kali saya mengunjunginya. Hanya jika saya mencari sesuatu yang saya butuhkan saja. Saya tak terlalu suka keramaian hehe. Minggu pagi pukul 6, saya berangkat bersama seorang teman untuk mengamati kebiasaan masyarakat Surabaya menikmati minggu paginya…

Seperti kebanyakan kota besar, banyak saya temui orang – orang berolahraga. Beberapa kali saya bertemu rombongan orang bersepeda. Orang – orang dewasa dengan mountain bikenya, remaja dengan sepeda fixienya ( di kota ini juga lagi trend fixie ) atau low rider, dan beberapa kali saya bertemu sepasang laki – laki dan perempuan dengan couple bike. Tapi tak banyak saya menemui orang dengan sepeda unta. Kemana sesuatu yang tua di sini ?? Menariknya, sebuah ruas jalan protokol utama ditutup hanya untuk kegiatan olahraga, baik itu jalan kaki, bersepeda, senam atau apapun asal tidak berhubungan dengan kendaraan bermotor. Saya teringat saat mengunjungi Bandung, seorang teman mengatakan bahwa sebuah ruas jalan utama juga ditutup untuk kegiatan semacam ini. Saya cukup respect karena kota ini masih mau merelakan jalan utamanya paling tidak seminggu sekali untuk warganya yang ingin bebas dari kendaraan bermotor.

Yang menarik di ruas jalan ini, ada beberapa pertunjukan topeng monyet yang musiknya tak kalah heboh dengan musik senam. Miris saya melihat monyet kecil yang berakting dengan tali terlilit di lehernya. Selain itu, saya sempat bertemu seorang bapak yg cukup tua, membawa sepeda unta yang banyak terpasang pernak – pernik. Ya kain, bunga, radio, plat nomer, entahlah mungkin itu barang-barang kesayangan dia. Kata seorang yg mengenal bapak itu, bapak itu sudah bersepeda selama beberapa tahun keliling Indonesia. Bapak itu duduk di sebuah kursi kecil di depan sepedanya dan memainkan gitar dan harmonica kesayangannya. Bukan untuk mengamen, tapi memang dia ingin berdendang. Satu lagi yg unik, saat menjelang pukul 8 ada sebuah sepeda motor yg nekat lewat jalan yg sedang ditutup untuk kegiatan non-kendaraan bermotor ini, akibatnya hampir sepanjang ruas jalan orang-orang berteriak menghina. Hahaha. Saya pikir ada apa, ternyata ada seorang pelaku kendaraan bermotor yg melintas di jalan ini saat jalan in belum kembali dibuka untuk kendaraan bermotor. Jadi buat yg membawa kendaraan bermotor, jangan nekat lewat sini saat jalan kembali dibuka untuk umum.

Saya melanjutkan perjalanan. Dan di suatu halaman sebuah gedung, saya melihat banyak orang melakukan senam aerobic bersama. Seorang mas – mas yang menjadi tutor di atas panggung kecil, bersemangat mencontohkan serangkaian gerakan pada ibu – ibu dan mbak – mbak. Beberapa bapak – bapak dan mas – mas yang lain berhenti di sekitar halaman tersebut untuk melihat ibu – ibu dan mbak – mbaknya, hahaha. Setelah saya bertanya pada teman saya, gedung itu adalah Balai Pemuda. Sebuah gedung multifungsi. Dan ternyata memang olahraga aerobic sangat digemari di Surabaya. Di beberapa kampung di Surabaya, warganya menikmati aerobicnya masing – masing dengan memanggil pelatih atau meminta salah satu warganya menjadi pelatih.

Melewati Balai Pemuda, saya menuju sebuah temporary market yang kerap disebut TP Pagi karena bertempat di daerah Tugu Pahlawan ( TP yang ini bukan Tunjungan Plaza ). Saya membayangkan mungkin ini semacam Sunday Morning di kawasan UGM Yogyakarta. TP Pagi hanya ada pada hari Sabtu pagi dan Minggu pagi. Dan setelah saya sampai, ternyata Sunday Morning kalah besar. TP pagi ini menghabiskan ruas jalan yang lebih panjang, dan tak berada di kawasan kampus atau kawasan lapangan terbuka. Pedagang – pedagang membuat stand di sepanjang jalan yang jalurnya tak cukup luas, dan bisa di tebak akibatnya, macet ( lagi – lagi saya harus bermasalah dengan macet haha ). Barang yang dijual, mengingatkan saya pada acara Sekatenan di Yogyakarta, baju – baju second dengan harga 5000 hingga 25.000. Kalau beruntung, bisa dapat barang bagus atau bahkan barang bermerek di sini. Beberapa stand yang saya temui memiliki ukuran yang sangat tidak manusiawi. Ukurannya kecil dan normalnya hanya cukup dimasuki 2 atau 3 orang. Tapi karena ramainya pasar, 6 hingga 7 orang sekaligus masuk ke tiap – tiap stand tersebut. Akibatnya mereka akan saling berdesakan dan kerap kali akan terdengan deretan sumpah serapah. Dan itu membuat saya mengurungkan niat untuk ikut ‘bertarung’ haha. Dari bahasa yang digunakan pedagang – pedagang yang ada, didominasi oleh orang Madura dan orang Surabaya sendiri. Sehingga awalnya saya cukup terkejut mendengan pembicaraan yang saya pikir sebuah pertengkaran hahaha.

Pukul setengah 9 saya memutuskan untuk pulang, cuaca panas mulai menyengat, dan jalan mulai dipenuhi kendaraan bermotor. Dan ini yang membuat minggu pagi di Surabaya tak sepanjang di kota lain. Tapi paling tidak, masih ada kesadaran warga Surabaya untuk meluangkan waktu membebaskan diri dari kendaraan bermotor, berolahraga untuk kesehatan mereka setelah seminggu penuh bekerja keras, dan sejenak meninggalkan mall untuk merasakan pasar.

Author:

dreamer. strange. different.

2 thoughts on “Mengamati Surabaya ( part 3 – Sunday Morning )

Leave a reply to fienorange Cancel reply